“Riya’ adalah melakukan ibadah karena mengharap
arah kepada manusia supaya mendapat keuntungan darinya (pujian dan
penghormatan)”.
Oleh itu, Syeikh Ahmad Rifa’i berpesan bahwa riya’
merupakan perbuatan haram dan satu diantara dosa besar yang harus dijauhi serta di tinggalkan
supaya selamat dan amalnya manfaat sampai di negeri akhirat.
Macam-macam Riya’
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa riya’ ada 2
macam, sebagaimana ulama menguraikannya[4]:
وَهُوَ قِسْمَانِ : رِيَاءٌ خَالِصٌ
كَانَ لاَ يَفْعَلَ الْقُرْبَةَ إِلاَّ لِلنَّاسِ ,
وَرِيَاءٌ شِرْكٌ كَانَ
يَفْعَلَهَا ِللهِ وَلِلنَّاسِ وَهُوَ أَخَفُّ مِنَ الْأَوَّلِ
“ riya’ dibagi kedalam dua tingkatan: riya’
kholish yaitu melakukan ibadah semata-mata hanya untuk mendapatkan
pujian dari manusia, riya’ syirik yaitu melakukan perbuatan
karena niat menjalankan perintah Allah, dan juga karena untuk mendapatkan
pujian dari manusia, dan keduanya bercampur”.
Fudhail Bin Iyadh berkata:“Beramal karena manusia adalah syirik,
meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’ dan ikhlas adalah Allah menyelamatkanmu dari
keduanya”.
Oleh itu, sifat riya’ sekiranya sudah menjalar masuk
ke dalam aktivitas harian dan mendarah daging dalam tubuh kita amat susah untuk
menghilangkannya, karena mereka menganggap sifat riya’ merupakan satu sikap
berbuat baik kepada orang lain, dengan dalih bahwa apa yang mereka kerjakan
dalam pandangannya adalah perbuatan yang terpuji, hal ini sesuai dengan
isyarat Qur’an dalam surah Al-baqarah ayat 11-12:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا
فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ
الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu
membuat bencana dan kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: ”Sesungguhnya
kami orang-orang yang hanya membuat kebaikan”. Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya
mereka itulah orang-orang yang sebenar-benarnya membuat bencana dan kerusakan,
tetapi mereka tidak menyadarinya.
Diantara kelembutan riya’ adalah menjadikan
ikhlas sebagai wasilah untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dihikayatkan dari Abu
Hamid Al-Ghazali bahwasanya telah sampai kepadanya kabar, barangsiapa yang
ikhlas kepada Alloh selama 40 hari, niscaya akan terpancar hikmah dari hatinya
melalui lisannya. Ia berkata: “Aku telah berbuat ikhlas selama 40 hari, namun
tidak juga terpancar hikmah sedikitpun”. Kemudian aku ceritakan hal itu kepada
orang-orang yang arif, mereka mengatakan kepadaku: Karena kamu berbuat ikhlas
untuk mendapatkan hikmah, bukan ikhlas karena Allah!”[5]. Yang demikian itu dikarenakan
tujuan manusia berbuat ikhlas untuk mendapatkan kelembutan dan hikmah, atau
untuk mendapatkan pengagungan dan pujian manusia.
Maka hal ini sesuai dengan perkataan ulama ahli sufi,
bahwa kita kadang tidak bisa membedakan antara riya’ jali (terang) dan khafi
(samar), kecuali orang-orang yang benar-benar selalu mensucikan dalam
hatinya hanyalah beribadah kepada Allah semata. Karena dengan kedekatan
pada-Nya, dalam hatinya sudah dibersihkan daripada penyakit-penyakit yang buruk
(madzmumah)[6]:
وَلَا يَسْلِمُ مِنَ الرِّيَاءِ
الْجَلِيِّ وَالْخَفِيِّ إِلَّا الْعَارِفُوْنَ الْمُوَحِّدُوْنَ لِأَنَّ اللهَ
طَهَّرَهُمْ مِّنْ دَقَائِقِ الشِّرْكِ
Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 110:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa
seperti kamu yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa, Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
Ayat diatas menerangkan kepada kita, sekiranya beramal
tapi masih mengharapkan pujian daripada selain Allah, maka sifat riya’ sudah
masuk dalam diri kita, dan itu sangat berbahaya karena kita beramal untuk
menuai hasilnya nanti di akhirat.
Allah SWT berfirman dalam surat Asy-Syuura ayat 20:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ
الْآَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ
وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ
الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآَخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat,
akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan
tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”.
Apapun jenis ibadah yang kita lakukan, hendaklah
dengan satu tujuan menghadap kepada sang Ilaah, seperti sholat
yang kita kerjakan setiap hari lakukanlah hanya untuk Allah, baik ketika sholat
sendiri atau pun ada orang di sekitarnya, beribadahlah hanya untuk Allah yang
Maha Mulia. Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ
هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ , الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ , وَيَمْنَعُونَ
الْمَاعُونَ
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang
berguna”.
Al Qurthubi mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat
riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa
dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan
seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau
dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakikat riya’adalah menginginkan apa yang ada di
dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya adalah menginginkan
kedudukan di hati manusia.[7]
Ini termasuk syirik yang tersembunyi. Nabi SAW
bersabda :“Wahai sekalian manusia, jauhilah kesyirikan yang tersembunyi!” Para
sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik yang tersembunyi?” Beliau
menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia bersungguh-sungguh
memperindah sholatnya karena dilihat manusia.
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi][8].
Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” [HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi][8].
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa orang yang berpuasa
hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, siapa orang yang sholat hanya
ingin di lihat orang maka itu adalah riya’, dan barangsiapa yang bersedekah
hanya ingin di lihat orang maka itu adalah riya’.(HR. Ahmad).